Negara Islam Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. LATAR BELAKANG

Salah satu peristiwa bersejarah yang meninggalkan bekas dalam catatan sejarah negeri ini adalah berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di awal masa kemerdekaan bangsa Indonesia, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945. Hanya berselang 4 tahun telah terjadi pemberontakan di negara sendiri setelah diproklamasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Topik ini akan selalu dan tetap menarik untuk dibahas dan diperbicangkan. Lengkap dengan segala pendapat para ahli maupun saksi-saksi sejarah terhadapnya. Kelompok NII ini dianggap sebagai kelompok kaum pemberontak dan separatis pengacau keamanan dan stabilitas negara.

Negara Islam Indonesia adalah sebuah gerakan kelompok Islam yang berjuang menegakkan negara Islam dengan visi membangun negara seperti yang pernah dibangun oleh Rasulullah SAW, pada periode Madinah. Negara Madinah dianggap negara yang ideal untuk membangun tatanan masyarakat yang adil, makmur, dan berperadaban tinggi. Umat Islam tidak layak hidup dalam tatanan pemerintahan kafir atau paling tidak dalam tatanan negara yang diadopsi dari kaum kafir.

 

  1. RUMUSAN MASALAH
  1. Bagaimanakah riwayat  kehidupan Kartosuwirjo?
  2. Bagaimanakah sejarah terbentuknya NII?
  3. Apa sajakah doktrin dan ajaran NII?

 

  1. TUJUAN PENULISAN
  2. Untuk memahami riwayat kehidupan kartosuwirjo.
  3. Untuk memahami sejarah singkat terbentuknya NII.
  4. Untuk memahami doktrin dan ajaran NII.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. RIWAYAT KEHIDUPAN S.M. KARTOSUWIRYO

Kartosuwirjo adalah seorang tokoh radikal Islam di Indonesia yang paling utama dan berpengaruh hingga sekarang. Ia merupakan konseptor dan sekaligus pelaksana gagasannya tentang Negara Islam. Pada tanggal 7 Agustus 1949, ia memproklamasikan NII secara resmi di Tasikmalaya, Jawa Barat[1]. Perjuangannya didasari keinginan untuk membentuk Indonesia menjadi Negara Islam, bukan Negara Sekuler. Oleh karena itu ia banyak bertentangan dengan tokoh-tokoh nasionalis seperti Soekarno. Padahal Soekarno dan Kartosuwiryo merupakan murid dari H.O.S Tjokroaminoto yang pernah mondok di rumahnya. Tindakannya tersebut kemudian menimbulkan perang saudara. Pada akhirnya ia tertangkap oleh pasukan RI pada tanggal 4 Juni 1962 dan menjalani hukuman mati tiga bulan kemudian di sebuah pulau yang berada di sekitar teluk Jakarta.

Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo lahir di Cepu, Jawa Tengah pada tanggal 7 Februari 1905, dari kalangan keluarga priyayi Jawa. Ayahnya seorang mantri candu, pegawai perantara dalam jaringan distribusi candu siap pakai yang dikontrol dan diusahakan pemerintah Belanda. Nama Kartosuwiryo sejatinya adalah nama sang ayah. Ia sendiri bernama Sekarmadji Maridjan. Nama Sekarmadji mengacu dari nama Samiadji, nama lain dari Puntadewa atau Yudhistira, putra tertua Pandawa. Sedangkan nama Maridjan berasal dari mi’rojun´yang berarti “naik terus”. Dengan bekerja pada pemerintah Belanda sebagai mantri candu, maka orang tua Kartosuwirjo dapat dikatakan mampu secara finansial dan kehidupan Kartosuwirjo cukup mapan. Dengan posisi sosial orang tuanya itu, karosuwiryo menjadi salah satu segelintir anak bumiputra yang dapat mengenyam pendidikan ala barat, hasil politik etis pemerintah Kolonial Belanda[2].

Karir Kartosuwiryo dimulai ketika ia bergabung dengan pemuda Jong Java sejak tahun 1923 di Surabaya, dan tidak lama setelah itu dia menjadi ketua cabang Jong Java di Surabaya. Angota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya akhirnya pada tahun 1925 mereka mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) di Surabaya[3]. Pada tahun 1927 saat kongres PSIHT (Partai Sjarikat Islam Hindia Timoer) Kartosuwirjo terpilih menjadi sekretaris umum PSIHT. Dan pada tahun itu pula Kartosuwirjo bekerja sebagai wartawan di koran harian Fadjar Asia[4].

 

  1. SEJARAH TERBENTUKNYA NII

Setelah bangsa Indonesia memperoleh Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, masih banyak sekali permasalahan-permasalahan yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia. Seperti masalah dalam bidang ekonomi, sosial, hubungan diplomatik dengan negara lain, masalah pertahanan dan keamanan. Khusus dalam bidang pertahanan keamanan, telah terjadi pemberontakan di negara sendiri yaitu pemberontakan yang menentang Pemerintah RI (Republik Indonesia) yang sah. Salah satu pemberontakan yang terjadi tersebut yaitu pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat yang dipimpin oleh SEKARMADJI MARIDJAN KARTOSUWIRYO[5], dengan pasukan pengikutnya yang diberi nama Tentara Islam Indonesia atau disingkat TII. Kartosuwiryo merupakan tokoh utama dibalik pemberontakan DI/TII di Jawa Barat. Ia telah sejak lama menginginkan terbentuknya suatu negara Islam yang dinamakan Darul Islam. Darul Islam berasal dari kata “Daar al-islam” secara harfiah berarti “rumah” atau “keluarga” Islam, yang berarti wilayah atau negara yang didiami dan diperintah oleh orang-orang Islam serta didalamnya berlaku hukum-hukum Islam[6]. Warga negara atau orang-orang yang tinggal di wilayah kekuasaannya yang tidak beragama Islam harus tunduk kepada hukum yang berlaku, dan mereka mendapat perlindungan. Di Indonesia kata-kata Darul Islam digunakan untuk menyatakan gerakan-gerakan sesudah 1945 yang berusaha keras untuk merealisasikan cita-cita Negara Islam Indonesia. Darul Islam mengartikan gerakannya sebagai satu-satunya gerakan yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar[7].

Pada akhir Juli 1947 pihak Belanda menyadari bahwa mereka harus menerima himbauan PBB agar diadakan gencatan senjata, yang kemudian dilaksanakakan oleh Belanda dan RI pada 4 Agustus 1947. PBB memperkenalkan Sjahrir untuk berbicara atas nama RI, tetapi PBB tidak bersedia menerima wakil-wakil dari daerah Indonesia yang dikuasai Belanda. Selanjutnya pembicaraan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) membentuk “Jasa Baik” yang beranggotakan wakil-wakil dari Australia, Belanda, dan Amerika Serikat, untuk membantu perundingan-perundingan Indonesia-Belanda dan mencapai gencatan senjata yang baru. Hasil dari pembicaraan itu adalah bahwa perundingan akan dilaksanakan di suatu tempat yang netral bagi kedua belah pihak, yakni di atas kapal Renville milik Amerika Serikat yang waktu itu sedang berlabuh di dekat Sanghai dan akan sampai Tanjung Priok pada tanggal 2 Desember 1947[8].

Upaya Kartosuwirjo dalam merealisasikan keinginannya untuk menjadikan negara Islam itu dapatlah dikatakan mulai berlangsung setelah ditandatanganinya Perjanjian Renville. Ini dikarenakan menurut Kartosuwirjo hasil keputusan dari perjanjian Renville sangatlah merugikan umat muslim. Perjanjian Renville ditandatangani oleh Pemerintah RI dan Belanda pada tanggal 17 Januari 1948 di atas kapal USS Renville[9]. Penandatanganan perjanjian Renville tersebut telah memecah belah kekuatan RI. Hasil dari perjanjian Renville tersebut yaitu Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia. Hal ini membawa akibat pada anggota tentara pasukan Republik Indonesia yang harus meninggalkan hampir seluruh wilayah Jawa Barat kira-kira sampai Kebumen di selatan dan Semarang di utara dan daerah Jawa Timur sebelah timur Malang. Itu artinya pasukan RI harus ditarik dari pendudukan wilayah Belanda dan harus pindah ke wilayah RI yang sempit. Di daerah Jawa Barat, tentara yang telah menempati daerah yang strategis untuk melakukan gerilya sebagian besar terpaksa harus segera melakukan hijrah atau pindah[10] ke daerah RI. Sedangkan yang tidak ikut hijrah terus melakukan perang gerilya di daerah Jawa Barat. Kesatuan tentara yang tidak ikut hijrah diantaranya pasukan Sabilillah dan Hizbullah[11] yang dipimpin oleh Kartosuwiryo.

Melihat situasi dan kondisi seperti tersebut diatas maka Kartosuwiryo dengan segera memanfaatkan keadaan ini. Pada tanggal 10-11 Februari 1948 di Desa Pangwedusan, Cisayong, Tasikmalaya, ia beserta teman seperjuangannya seperti Raden Oni dan Kamran mengadakan konferensi yang akhirnya berhasil membentuk TII. Konferensi dihadiri oleh 160 wakil-wakil organisasi Islam dan sebagian besar pengurus Masyumi daerah Jawa Barat. Selanjutnya pada tanggal 15 Februari 1948 pihak DI/TII Jawa Barat mengadakan suatu pertemuan khusus sebagai tindak lanjut dari konferensi di Cisayong. Pertemuan ini bertujuan untuk memberikan bentuk yang konkret kepada TII. Organisasi militer yang dibentuk Kartosuwiryo tersusun dalam bentuk satuan tingkat divisi, resimen, batalyon, sampai pada satuan tingkat regu dan dipimpin oleh Panglima Tertinggi. Namun dalam setiap taktik dan gerakannya, TII tidak pernah bergerak dalam satuan yang besar. Salah satu taktik yang digunakan oleh TII adalah taktik timbul tenggelam.  Menurut taktik ini setiap anggota TII dapat ditempatkan di daerah kota dan kampung atau dapat pula ditempatkan di hutan-hutan, yang diatur dengan berdasarkan atas pertimbangan keadaan[12]. Kegiatan mereka paling besar hanya sampai pada satuan batalyon[13]. Pihak DI/TII merekrut pemuda-pemuda desa untuk dijadikan anggota TII. Sementara modal untuk persenjataan TII diperoleh dari hasil rampasan perang. Selain itu TII juga mendapatkan pasokan berupa persenjataan dari pihak militer Belanda yang sengaja dikirim kepada TII[14].

TNI mulai melancarkan operasi penumpasan terhadap pemberontakan DI/TII di Jawa Barat. Upaya tersebut mulai dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1950. Namun upaya penumpasan terhadap pemberontak tersebut belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Kemudian operasi-operasi penumpasan terhadap pemberontak lebih diintensifkan lagi dengan mencetuskan doktrin perang wilayah. Seluruh rakyat dilibatkan sepenuhnya untuk membantu pelaksanaan operasi penumpasan tersebut. Sistem yang digunakan oleh para TNI dan rakyat dikenal dengan operasi Pagar Betis dan dilanjutkan dengan operasi Brata Yudha. TII berusaha mengimbangi perlawanan yang dilancarkan oleh TNI, akan tetapi mereka mengalami kegagalan dikarenakan rakyat tidak mau membantu. Akibatnya TII kemudian melakukan tindakan-tindakan yang membabi buta dan melakukan teror secara massal terhadap rakyat di Jawa Barat.

Pada tahun 1959 Kartosuwiryo membentuk komando perang TII. Untuk menjamin berlakunya Hukum Perang, seluruh Indonesia oleh Kartosuwiryo dibagi menjadi tujuh daerah perang yang terkecil adalah sebesar desa[15]. Rahasia TII dalam melakukan perang gerilya yang sanggup bertahan lama hingga tahun 1962 itu tentu tidak terlepas dari adanya suatu sistem militer yang baik di tubuh TII. Sistem militer merupakan tata cara suatu negara untuk dapat mengatur sekumpulan orang-orang yang mempunyai ciri berbeda dari orang sipil, yang terorganisir dan dipersenjatai, dan berperan di bidang pertahanan dan keamanan. TII dijadikan tulang punggung utama NII untuk melakukan aksi-aksi pemberontakan terhadap pemerintah RI. Gerakan Darul Islam ini sebenarnya lebih memfokuskan pada perjalanan karir politik Kartosuwiryo, dari sejak muda sampai dengan runtuhnya gerakan Darul Islam[16].

Gerakan Darul Islam ternyata tidak mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia di kemudian hari. Hal ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia tidak mau dan tidak dapat dipecah belahkan oleh suatu aliran apapun yang tidak sesuai dengan Pancasila[17]. Semenjak pertengahan tahun 1949 Tentara Republik Indonesia berhadapan secara langsung  dengan DI/TII dibawah pimpinan Kartosuwirjo. Namun kemudian Kartosuwirjo berhasil ditangkap pada tanggal 4 Juni 1962 di tempat persembunyiannya di Gunung Sangkar dan Gunung Geber dalam keadaan ysakit yang cukup serius. Beliau kemudian ditandu oleh Tentara RI karena sudah tidak mampu lagi untuk berjalan, yang pada saat itu Kartosuwirjo berusia 59 tahun. Kemudian atas putusan Majelis Hakim pada saat itu dinyatakan bersalah dengan tuduhan makar dan dihukum dengan hukuman mati. Kartosuwirjo kemudian dieksekusi mati pada bulan September 1962 di daerah pulau di teluk Jakarta. Beliau meninggalkan seorang istri yang bernama Siti Dewi Kulsum dan 12 orang anaknya.

Pasca kepemimpinan S.M. Kartosuwirjo, NII kemudian dipegang oleh Kahar Muzakar (1962-1965), kemudian oleh Agus Abdullah (1965-1970), dan Teungku Daud Beureuh (1970-1980). Pasca kepemimpinan ini, NII terpecah menjadi beberapa faksi, karena terjadinya perselisihan paham dan pendapat tentang siapa yang lebih berhak menggantikan posisi Imam NII.

 

  1. DOKTRIN dan AJARAN NEGARA ISLAM INDONESIA

Secara garis besar doktrin dan ajaran NII dikategorikan kepada dua hal, yaitu: pertama, terkait aqidah dan kedua terkait syari’ah dan ibadah. Doktrin dan ajaran yang terkait dengan aqidah meliputi konsepsi din al-islam, konsep tauhid dan hubungan Islam dan negara serta langkah-langkah mewujudkan negara Islam meliputi bai’at, hijrah, dan jihad. Sementara doktin dan ajaran yang terkait syari’ah dan ibadah meliputi konsepsi ibadah seperti sholat, puassa, haji, zakat, shodaqoh, qirad, dan fa’i. Selanjutnya syari’at pernikahan terkait wali biologi dan wali ideologi, dan lain-lain.

Terkait dengan konsepsi din al-Islam menurut kelompok NII bahwa yang dimaksud dengan kata ini bukanlah agama Islam dalam pengertian religion seperti yang dipahami oleh mayoritas umat Islam. Akan tetapi, yang dimaksud dengan din al-Islam adalah tata cara hidup yang dilandasi oleh ajaran Islam. Konsekuensi dari pemahaman itu adalah bahwa untuk terwujudnya Islam sebagai tata cara hidup dalam umat Islam maka jalan satu-satunya adalah dengan mendirikan negara Islam. Hanya dengan kekuatan politiklah Islam sebagai norma bisa diterapkan dalam kehidupan secara total[18].

Adapun langkah-langkah dalam menegakkan negara Islam meliputi bai’at, hijrah dan jihad. Bai’at diperlukan karena untuk membangun sebuah negara diperlukan jama’ah dan kelompok besar. Jama’ah ini hanya bisa lahir dari proses bai’at. Bai’at dalam konsep NII berarti seseorang telah menjual dirinya untuk menegakkan aturan Allah, sesuai dengan arti kata bai’at sendiri yang berasal dari kata baya’a yang berarti menjual. Pemahaman seperti inilah yang melahirkan sikap berkorban tanpa batas dalam diri para pengikut NII, baik berupa materi maupun non materi[19]. Adapun hijrah baru bisa dilakukan setelah proses bai’at yang meliputi hijrah jasmani dan hijrah rohani. Pemahaman hijrah disini didasarkan pada surat al-Balad [90]:10 dimana Allah menyebutkan kata al-Najdayn yang ditunjukkan Allah kepada manusia yang dalam pemahaman kelompok NII kata itu diartikan dua negeri, yaitu negeri bathil dan negeri haq. Negeri bathil adalah negara Republik Indonesia yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sedangkan negeri yang haq (benar) adalah negara yang didirikan oleh Kartosuwirjo pada tanggal 7 Agustus 1949 dengan nama Negara Karunia Allah-Negara Islam Indonesia (NKA-NII). Konsekuensi dari hijrah bahwa seorang muslim haruslah berjihad baik dengan harta maupun dengan nyawanya demi tegakknya negara Islam[20].

Sementara doktrin yang terkait dengan syari’at dan ibadah seperti sholat, puasa, haji, zakat, dan sebagainya, kelompok NII juga memiliki paham yang berbeda dengan pemahaman mayoritas umat Islam.

مِنْ بَابِ مَالَا يَتِمُ الوُجُوْبُ اِلَّا بِهِ فَهُوَا وَاجِبٌ

“Suatu kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu hal, maka sesuatu hal itu menjadi wajib”

Sholat misalnya, kelompok NII tidak lagi memahami sholat dalam  arti ritual aqim al-salah, namun sholat bagi mereka dipahami dalam arti aqim al-din yaitu mendirikan agama. Artinya, tidaklah ada arti sholat seseorang walaupun ribuan rakaat, jika dia tidak berupaya untuk menegakkan negara Islam. Mereka lebih memahami sholat dalam konteks substansi dan bukan formalitas. Jika seseorang misalnya sudah tercegah dari perbuatan keji dan munkar maka dia tidak perlu lagi sholat ritual, begitulah pemahaman NII. Sama halnya dengan sholat, bagi pengikut NII puasa juga belum diwajibkan sebelum negara Islam berdiri, karena dalam syari’at, puasa baru dikerjakan tahun kedua setelah terbentuknya negara Islam di Madinah. Begitu juga dengan ibadah haji yang baru wajib jika sudah diundangkan oleh negara Islam yang sah. Bukankah Nabi Muhammad SAW baru berhaji setelah sepuluh tahun berdirinya negara Madinah[21].

Namun berbeda dengan zakat dan shodaqoh yang sudah mereka wajibkan setelah bai’at dilakukan. Ini merupakan wujud ketidak konsistenan pemahaman kelompok NII yang cenderung mengambil kesimpulan dan hukum yang sesuia dengan selera dan keinginan mereka. Mereka merujuk para sahabat Nabi, dimana semenjak periode Makkah yang dilakukan oleh Khadijah, Abu Bakar, Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, dan sebagainya. Mereka berpendapat bahwa materi adalah penopang utama berjalannya aktifitas dakwah dalam rangka mewujudkan negara islam. Sehingga pengorbanan materi para pengikutnya secara besar-besaran sangat dibutuhkan entah itu dalam bentuk zakat, infaq, maupun shodaqoh. Sedangkan qirad berarti meminjamkan Allah SWT sejumlah harta dengan mengharap pengembalian berupa pahala yang berlipat ganda dari Allah. Anggota NII didorong untuk bisa meminjamkan hartanya sebesar mungkin agar mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Dogma inilah yang kemudian begitu sukses menjadikan dakwah NII begitu cepat mendapat dukungan finansial dari anggotanya yang tidak terbatas. Bahkan untuk hal qirad ini ini tidak sedikit anggotanya yang melakukan pencurian harta orang lain, bahkan harta keluarganya sendiri agar tercapainya maksud dari qirad tersebut. Bagi mereka, melakukan pencurian terhadap harta yang bukan NII adalah halal, karena mereka yang bukan anggota NII dianggap kafir.

Terkait masalah pernikahan, NII berpendapat bahwa anggota NII hanya boleh dan sah menikah dengan sesama pengikut NII. Mereka diharamkan menikah dengan orang di luar pengikut NII kecuali setelah berbai’at menjadi pengikut NII terlebih dahulu. Alasan mereka adalah bahwa seorang laki-laki muslim halal menikah dengan perempuan muslim begitu pula sebaliknya. Karena orang diluar NII masih dianggap kafir oleh pengikut NII. Sedangkan apabila bapaknya juga bukan pengikut NII, maka bapaknya tidak boleh menjadi wali pernikahan untuk anak perempuannya. Andaikata perempuan tadi telah dinikahkan oleh bapaknya secara sah di KUA, maka pernikahan tetap harus diulang dalam internal NII dengan wali ideologi (imamnya NII) barulah sah pernikahannya dan hubungan yang mereka jalani.

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

  1. KESIMPULAN
  2. Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo lahir di Cepu, Jawa Tengah pada tanggal 7 Februari 1905, dari kalangan keluarga priyayi Jawa. Ayahnya seorang mantri candu, pegawai perantara dalam jaringan distribusi candu siap pakai yang dikontrol dan diusahakan pemerintah Belanda. Nama Kartosuwiryo sejatinya adalah nama sang ayah. Ia sendiri bernama Sekarmadji Maridjan. Nama Sekarmadji mengacu dari nama Samiadji, nama lain dari Puntadewa atau Yudhistira, putra tertua Pandawa. Sedangkan nama Maridjan berasal dari mi’rojun´yang berarti “naik terus”.
  3. Pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat yang dipimpin oleh SEKARMADJI MARIDJAN KARTOSUWIRYO, dengan pasukan pengikutnya yang diberi nama Tentara Islam Indonesia atau disingkat TII. Kartosuwiryo merupakan tokoh utama dibalik pemberontakan DI/TII di Jawa Barat. Ia telah sejak lama menginginkan terbentuknya suatu negara Islam yang dinamakan Darul Islam. Darul Islam berasal dari kata “Daar al-islam” secara harfiah berarti “rumah” atau “keluarga” Islam, yang berarti wilayah atau negara yang didiami dan diperintah oleh orang-orang Islam serta didalamnya berlaku hukum-hukum Islam.
  4. Secara garis besar doktrin dan ajaran NII dikategorikan kepada dua hal, yaitu: pertama, terkait aqidah dan kedua terkait syari’ah dan ibadah. Doktrin dan ajaran yang terkait dengan aqidah meliputi konsepsi din al-islam, konsep tauhid dan hubungan Islam dan negara serta langkah-langkah mewujudkan negara Islam meliputi bai’at, hijrah, dan jihad. Sementara doktin dan ajaran yang terkait syari’ah dan ibadah meliputi konsepsi ibadah seperti sholat, puassa, haji, zakat, shodaqoh, qirad, dan fa’i. Selanjutnya syari’at pernikahan terkait wali biologi dan wali ideologi, dan lain-lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Irfan S. Awwas, Trilogi kepemimpinan Negara Islam Indonesia: Menguak Perjuangan Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler. (Yogyakarta: USWAH, 2008).

 

Kholid O. Santoso, Jejak-jejak Sang Petualang Pemberontak (Pemikiran, Gerakan dan Ekspresi Politik S.M Kartosuwirjo dan Darul Beureuh), (Bandung: Segaorsy, 2006).

 

Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosuwirjo (Angan-angan Yang Gagal), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995).

 

Al Chaidar, Pengantar Pemikiran.

 

[1] Irfan S. Awwas, Trilogi kepemimpinan Negara Islam Indonesia: Menguak Perjuangan Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler. (Yogyakarta: USWAH, 2008), hlm.217.

[2] Kholid O. Santoso, Jejak-jejak Sang Petualang Pemberontak (Pemikiran, Gerakan dan Ekspresi Politik S.M Kartosuwirjo dan Darul Beureuh), (Bandung: Segaorsy, 2006), hlm.60.

[3] Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosuwirjo (Angan-angan Yang Gagal), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal.8.

[4] Al Chaidar, Pengantar Pemikiran, tt, hlm.35.

[5] Pada masa kolonial Belanda kedudukan Kartosuwiryo adalah sebagai teman seiring dari pejuan-pejuang Kemerdekaan RI, namun dalam masa mempertahankan perundingan diplomasi dengan Belanda dalam perjanjian Linggarjati sampai Renville, Kartosuwiryo selalu berada pada posisi yang tidak setuju dengan hasil perundingan-perundingan tersebut. Sikap perlawanan terhadap pemerintah RI itu yang kemudian membawanya untuk menentang pemerintah RI, yaitu dengan memproklamasikan berdirinya NII (Negara Islam Indonesia) pada tanggal 7 Agustus 1949 yang berpusat di Jawa Barat. Sikap dan aksi tindakan yang telah dilakukan oleh Kartosuwiryo ini kemudian oleh pemerintah RI disebut sebagai aksi pemberontakan. Kartosuwiryo yang merasa kecewa dengan berbagai macam kebijakan yang telah diambil oleh Pemerintah  RI pada akhirnya memilih jalan menjadi seorang pemberontak. Sumber: Hesri Setiawan & Joebar Ayoeb. (1982) SM. Kartosuwiryo, Orang seiring Bertukar Jalan, Prisma, No. 5 Tahun XI, hlm. 96. Lihat juga Ruslan, dkk., Mengapa Mereka Memberontak? Dedenglot Negara Islam Indonesia. Yogyakarta: Bio Pustaka, 2008, hlm. Vii.

[6] Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus. (Jakarta: P.T. Ikhtiar Baru, 1992, hlm.754.

[7] Al-Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam (Studi Harakah Darul Islam dan moro National Liberation Font), (Jakarta: Darul Falah, 1998), hlm.76.

[8] Kholid O. Santoso, Jejak-jejak Sang Petualang,tt, hlm.84-85.

[9] Ida Anak Agung Gde Agung, Renville, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991, hlm.71.

[10] Hijrah merupakan istilah yang digunakan oleh Jenderal Sudirman untuk menyebut penarikan pasukan Divisi Siliwangi dari Jawa Barat ke Jawa Tengah sebagai akibat dari pelaksanaan Perjanjian Renville, dengan harapan bahwa suatu waktu pasukan Divisi Siliwangi akan kembali ke daerah asalnya, yaitu Jawa Barat. Holk Harald Dengel, Darul Islam Kartosuwiryo: Langkah Perwujudan Angan-angan yang gagal. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal.63-64.

[11] Hizbullah atau Tentara Allah didirikan pada tanggal 8 Desember 1944 atas izin dari Jepang. Sedangkan Sabilillah atau Jalan Allah didirikan pada bulan November 1945. Kedua pasukan ini merupakan laskar Islam dari Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Corneles Van Djik, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), hal. 63-66.

[12] Disjarah TNI AD, op.cit, hlm.103.

[13] Dinas Sejarah Tentara Nasional Angkatan Darat, Penumpasan Pemberontakan DI/TII S. M. Kartosuwiryo di Jawa Barat. Bandung: Dinas Sejarah Tentara Nasional Angkatan Darat, 1985, hlm.113, Selanjutnya disingkat Disjarah TNI AD.

[14] Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, (Jakarta: Aryaguna, 1964), hlm.94.

[15] Holk Harald Dengel, op.cit., hlm.135.

[16] Holk Harald Dengel, Darul Islam dan Kartosuwiryo: Langkah Perwujudan Angan-angan yang Gagal, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995).

[17] Disjarah TNI AD, op.cit., hlm.145.

[18] NII KW IX, al-islam, 9.

[19]Kesesatan Bai’at ini telah dijelaskan oleh Abdul Halim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, (Jakarta: Pustaka Abdullah, 2010), hlm.312-313.

[20] Asep Zainal Ausop, Ajaran dan Gerakan NII KW IX & Ma’had al-Zaytun (Bandung: Tafakur, 2011), hlm.113-148.

[21] Lihat NII KW IX, al-Islam, 30-31.

Tinggalkan komentar